Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh..
Mungkin akan sedikit singkat dari beberapa
tulisan sebelumnya karena saya sendiri masih belum mempunyai ilmu dan keterampilan yg cukup untuk menyampaikan ilmu yg bermanfaat yg saya tahu dan yg patut saya bagi.
Saya akan langsung saja pada point tulisan saya kali ini.
Sesungguhnya, hakikat
kebaikan dan keburukan, juga kebahagiaan dan ketidakbahagiaan sudah menjadi
tema yg sangat klasik bagi saya atau mungkin bagi kalian pembaca (barang kali
ada yg baca) maksudnya sudah klasik itu yaa kita sering mengartikan hakikat
dari kebaikan dan kebahagiaan. Para filsuf baik islam atau non-islam, telah
lama membicarakannya. Perbedaan klasik dari masalah ini adalah pernyataan yg
saya buat seperti dibawah ini.
Akhir-akhir ini saya
sedang mengungkit perbandingan dan penjelasan dari beberapa kutipan kalimat yg
dilantukan oleh kedua Filsuf yunani kuno, yaitu Plato dan Aristoteles.
Kalimatnya sebagai
berikut. Plato : “Plato meyakini bahwa
tidak mungkin manusia akan mencapai kebahagiaan didunia ini, sebab kebahagiaan berhubungan
dengan dimensi jiwa dan roh.“ Jiwa dan roh akan berbahagia hanya apabila
jasad termatikan. Singkatnya, manusia akan mencapai kebahagiaan apabila ia
telah mati. Namun sebaliknya kalimat dari Aristoteles : “bahwa kebahagiaan tidak akan bisa dicapai di dunia ini.” Baginya, kebahagiaan tetap akan bisa dicapai
apabila manusia itu sendiri bisa bersungguh-sungguh, ikhlas, konsisten, dan
benar-benar berupaya mencapainya.
Saya pribadi agak kurang
mengerti dengan dua penjelasan dari kedua filsuf yunani ini, karena sebelum
saya menemukan 2 kalimat ini saya pernah membaca suatu buku yg menjelaskan
tentang hakikat kebahagiaan dan kebaikan yg bersumber dari para filsuf islam.
Saya memuat materi ini karna saya juga ingin berbagi saling belajar bagaimana
memahami hakikat kebikan dan kebahagiaan.
kedua pernyataan yg dilantukan oleh kedua filsuf yunani ini ternyata sangat berbeda dengan pernyataan tentang kebahagiaan dari agama kita atau dari dhin kita Islam.
kedua pernyataan yg dilantukan oleh kedua filsuf yunani ini ternyata sangat berbeda dengan pernyataan tentang kebahagiaan dari agama kita atau dari dhin kita Islam.
Menurut buku yg saya baca
tentang kebahagiaan yg bersumber dari beberapa filsuf muslim kebahagiaan itu
terdiri dari dua macam : yakni kebahagiaan yang dapat dicapai di dunia dan
kebahagiaan yang harus dicapai di akhirat.
Filsuf muslim tidak
mutlak seperti Plato yang memustahilkan kebahagiaan di dunia. Pun, tidak mutlak
seperti Aristoteles yg hampir-hampir menihilkan kebahagiaan di akhirat. Hanya
saja, menurut pandangan islam kebahagiaan akhirat lebih di utamakan.
Lantas, apa sebenarnya
kebahagiaan itu ? apa pula kebaikan itu ? lalu apa ketidakbahagiaan dan apa
pula ketidakbaikan ?
Selanjutnya, untuk
masalah ini saya mengkutip atau merujuk kepada pemahaman ibnu miskawih dalam
bukunya untuk mengurai kebahagiaan dan kebaikan ini.
Katanya,
Kebaikan adalah tujuan
tiap sesuatu. Dan ia merupakan tujuan akhir. Tentu saja, tujuan tersebut
merupakan tujuan yg bermanfaat. Bukan tujuan yg tidak bermanfaat. Dan proses
untuk mencapai tujuan yg bermanfaat adalah termasuk dari definisi kebaikan.
Nah saya mengkutip. Jika
demikian, ketidakbaikan – sebagai lawan dari kebaikan – berarti tujuan setiap
sesuatu dimana tujuan tersebut tidak bermanfaat atau bahkan menimbulkan
kerusakan atau (mafsadat). Proses
untuk mencapai tujuan yg tidak bermanfaat (merusak) juga masuk dalam kategori
ketidakbaikan.
Kemudian kutipan yg saya
ambil selanjutnya adalah, para filsuf muslim biasanya membagi kebaikan menjadi
empat :
-
Kebaikan mulia, yakni kebaikan yg kemuliaannya
berasal dari esensinya serta membuat orang yang mendapatkannya manjadi mulia.
-
Kebaikan terpuji, yakni kebajikan dan tindakan
sukarela yg positif.
-
Kebaikan potensial, yakni kesiapan-kesiapan
untuk mencapai kebaikan mulia dan kebaikan terpuji.
-
Kebaikan yg bermanfaat, yakni kebaikan yg
dicapai untuk mendapatkan manfaat-manfaat lain.
Menurut saya, mengerjakan sholat
dengan khusyu adalah termasuk kebaikan yg mulia. Karena jelas kemuliaannya yg
didapat dari Allah Swt. Kemudian, Menolong orang yg sedang susah adalah
kebaikan yg terpuji. Selanjutnya, Keinginan untuk sholat lebih khusyu atau
menolong orang lain dengan ikhlas adalah kebaikan potensial. Yg terakhir, Bekerja dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan upah dan demi menghidupi keluarga adalah kebaikan yg bermanfaat.
Dan yg saya ketahui atas
dasar dari beberapa filsuf mulism biasanya, kebaikan juga bisa dipahami dalam
dua kualitas. Yakni kebaikan sempurna dan kebaikan tidak sempurna. Kebaikan
sempurna disebut dengan kebahagiaan sempurna dan kebaikan tidak sempurna
disebut sebagai “kebahagiaan antara” contohnya Harta dan Kesakitan.
Kemudian. Selain itu,
kebaikan difahami dalam dua konteks, yakni kebaikan sebagai tujuan dan kebaikan
sebagai tujuan (mencari ilmu, olahraga agar sehat dan yg lainnya).
Sebagaimana disebutkan
diatas, kebahagiaan merupakan kesempurnaan dan akhir dari setiap kebaikan.
Perlu kita ingat bahwa sesuatu dikatakan sempurna apabila setelah sesuatu
tersebut dicapai, maka orang yg mencapainya tidak menginginkan sesuatu yg lain.
Ketika seorang hamba sudah benar-benar mendekati dan berada dekat dengan Allah,
lalu ia merasa tidak ada lagi yg ia butuhkan selain Allah, maka ia telah
mencapai kebahagiaan yg sempurna atau ia telah mencapai tujuan akhir.
Subhanallah..
Dengan cara demikian
ini, tentu saja kita akan menjadi sedikit lebih mudah memahami hakikat
ketidakbahagiaan dan ketidakbaikan.
Perlu saya ingatkan
lagi bahwa, hakikat kebaikan dan kebahagiaan seperti ini merupakan hakikat
hidup di dunia ini. Kita tidak sedang membicarakan tentang kebaikan dan
kebahagiaan yg relative atau kebanyakan. Kita juga tidak sedang menbicarakan
para turis amerika yg dating ke Bali dan berjemur dipantai kuta dengan memakai
bikini dan ia merasa senang dan bahagia. Dan, menurut mereka hal tersebut
adalah tindakan yg baik dan bermanfaat. Kita juga sedang tidak mendefinisikan
kebaikan layaknya seorang pejabat yg benar-benar kepepet lalu nekat korupsi
untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup dalam keluarganya. Dalam
pandangan hakikat kebahagiaan dan kebaikan, hal-hal tersebut merupakan
ketidakbaikan dan ketidakbahagiaan sekaligus merupakan sikap dan tindakan yg
sia-sia. Merusak juga sesat.
Demikian mungkin yg
bisa saya bagi, kemudian kembali saya ingatkan bahwa kebaikan dan kebahagiaan
hidup di akhirat, dalam pandangan islam, tentu saja lebih afdhal dari pada kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia. Kemudian
yg ideal, tentu saja seseorang yg dapat mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup
di dunia dan sekaligus di akhirat.
Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi ukhuwah islamiah yg mau membacanya sekalian.
Terimakasih atas
perhatiannya.
Alhamdulillahirabbil
alaamiin..
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh..